Baca bagian sebelumnya di Pong Tiku, Sang Penantang Terakhir
Setelah berhasil menaklukkan hampir semua kerajaan di Sulawesi Selatan, pada bulan Maret 1906, pasukan Angkatan Perang Belanda (KNIL) di bawah Pimpinan Kapten Killian masuk ke wilayah Toraja, tepatnya di Rantepao, dengan tujuan melucuti dan mengumpulkan senjata api dari semua penguasa Toraja. Masuknya Belanda ke wilayah Toraja juga sekaligus menandakan Belanda hendak menuntaskan misi besar mereka menaklukkan seluruh wilayah kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan.
Sewaktu masuk ke dalam Kota Rantepao, komandan pasukan Belanda memerintahkan Pongtiku datang menghadap dan menyerahkan semua senjata yang dimilikinya. Pongtiku menolak. Alih-alih menyerah, Pongtiku malah ia menyiagakan semua benteng-bentengnya untuk menghadapi perang dengan pasukan Belanda. Tanggapan yang diberikan Pongtiku membuat Kapten Killian pun merasa khawatir. Killian menganggap Pongtiku telah membuat persiapan yang baik untuk berperang dengan pasukan Belanda. Oleh karenanya, pasukan Belanda baru mulai digerakkan ke Tondon, setelah satu bulan mempelajari keadaan di Toraja.
Pada bulan April, pasukan Belanda dikirim ke Tondon untuk memerangi Pongtiku. Pasukan ini mundur kembali ke Rantepao tanpa perlawanan yang berarti. Di bulan-bulan berikutnya, Belanda mulai melakukan perang terbuka dengan pasukan Pongtiku di berbagai wilayah utara Toraja. Tanggal 1 Juni 1906 Angkatan Perang Belanda di bawah Komando Kapten De Last yang melakukan 3 gelombang serangan terhadap Pongtiku di Benteng Buntu Asu. Semua serangan Belanda kandas di muka Benteng dengan menelan banyak korban. Angkatan Perang Belanda pun dipukul mundur dan dihalau kembali ke Rantepao.
Keberhasilan Pongtiku menahan gempuran pasukan Belanda tampaknya tidak terlepas kemampuan strategi serta semangat yang ia miliki. Pongtiku memiliki keuntungan dalam hal penguasaan medan tempur serta Ia bertahan dan menyerang musuhnya dari benteng-benteng yang jumlahnya 9 buah yang telah dipersiapkan sejak dini. Perang Pongtiku melawan Belanda bukanlah tindakan spontanitas akan tetapi adalah perang yang direncanakan dan dipersiapkan dengan matang.
Ilustrasi Pertempuran Pongtiku (diambil dari foto makam Pahlawan Pongtiku, koleksi pribadi)
Penaklukkan Toraja yang berjalan lambat akhirnya membuat berang Gubernur Jendral Hindia Belanda saat itu, Johannes Benedictus van Heutsz. Heutsz pun memerintahkan Gubernur Sulawesi yang juga mantan Pasifikator Van Aceh (Pengaman Aceh), Letjen Swart, untuk memimpin langsung perang terhadap Pongtiku di wilayah Toraja. Setelah berbulan-bulan berperang, lewat beberapa kali pertempuran, pasukan Belanda tampaknya perlahan-lahan mulai berhasil memasuki wilayah Pongtiku di Pangala’. Belanda pun terus menaklukkan semua benteng pertahanan Pongtiku. Pongtiku pun akhirnya mengambil posisi bertahan di Benteng Batu di Baruppu’. Walau dengan teknologi yang terbatas, Pongtiku berhasil mempertahankan bentengnya selama berbulan-bulan. Belanda pun akhirnya menyadari bahwa peluru dan granat ternyata bukan hal yang mampu menaklukkan Pongtiku dan pasukannya, apalagi memadamkan semangat juang mereka. Keberhasilan Pongtiku menahan gempuran pasukan Belanda selama berbulan-bulan tampaknya tidak terlepas kemampuan strategi serta semangat yang ia miliki. Pongtiku pun memiliki keuntungan dalam hal penguasaan medan tempur serta posisi bertahan yang lebih menguntungkan. Setelah mengepung Pongtiku selama 4 bulan(Juli s/d Oktober 1906), Belanda pun menyadari mereka berperang bukan dengan orang yang berperang dengan sembarangan tanpa strategi. Pongtiku dipastikan telah mempersiapkan 9 bentengnya sejak dini. Pongtiku berperang dengan perencanaan dan persiapan yang matang. Belanda pun mulai memikirkan taktik lain untuk mengalahkan Pongtiku dan pasukannya.
Peperangan frontal telah nyata menunjukkan Pongtiku adalah lawan yang sulit untuk dikalahkan. Belanda pun menyadari mereka perlu kembali menggunakan akal bulus lainnya. Taktik penjebakan untuk Pongtiku pun mulai dipersiapkan. Ini adalah taktik klasik Belanda yang juga digunakan terhadap Pangeran Diponegoro, yaitu menawarkan perundingan. Pada tanggal 26 Oktober 1906 Belanda mengutus Andi Guru, penguasa Sidenreng, dan Tandi Bunna’, bekas pemimpin pasukan Pongtiku, untuk menawarkan gencatan senjata kepada Pongtiku. Walau pada awalnya Pongtiku menolak, Pongtiku akhirnya mendengarkan nasihat dari orang-orang di kampungnya untuk mengingat kematian ibunya yang terjadi saat pengepungan. Tiga hari kemudian, Pongtiku pun mengalah karena ia merasa harus mengadakan upacara untuk pemakaman ibunya terlebih dahulu. Belanda pun masuk, mengambil alih benteng, menahan semua senjata dan menangkap Pongtiku pada tanggal 30 Oktober 2006. Belanda pun menggiring Pongtiku dan pasukannya ke Tondon. Di Tondon, Belanda pun membatasi gerak-gerik Pongtiku yang sedang mempersiapkan Upacara Pemakaman ibunya menurut adat Toraja. Persiapan upacara pemakaman yang memakan waktu berbulan-bulan ini ternyata juga digunakan Pongtiku untuk mengumpulkan kembali senjata lewat orang-orang kepercayaannya dan juga sekaligus untuk menjalin komunikasi dengan beberapa benteng perlawanan lainnya di Toraja.
Januari 1907, di malam sebelum acara pemakaman orang tuanya, Pongtiku dengan sejumlah pasukan melarikan diri ke arah selatan. Pongtiku akhirnya mengetahui bahwa ia dan pasukannya diikuti oleh pasukan Belanda. Ia pun meminta pasukannya untuk kembali ke Tondon. Pongtiku sendiri terus melanjutkan perjalanannya bersama lima belas orang lainnya ke Benteng Ambeso yang dipimpin oleh Bombing dan Ua’ Saruran. Beberapa hari kemudian, Benteng Ambeso pun jatuh ke tangan Belanda. Pongtiku dan rombongannya pun keluar dari Benteng Ambeso dan pergi ke Benteng Alla. Maret 1907, Benteng Alla pun ditaklukkan Belanda. Kali ini Pongtiku dan rombongannya terpaksa kembali ke daerah Tondon. Mengingat semua benteng perlindungan telah jatuh ke tangan Belanda, Pongtiku pun menetap di hutan di sekitar wilayah Tondon.
Pada tanggal 30 Juni 1907, dengan petunjuk mata-mata Belanda, Pongtiku tertangkap lalu di bawa ke Rantepao. Setelah beberapa hari di penjara, pada tanggal 10 Juli 1907, Pongtiku dieksekusi dan gugur sebagai pahlawan Toraja di pinggir Sungai Sa’dan, tepatnya di tempat dimana Tugu Peringatan baginya didirikan di Singki’, Rantepao.
Setelah berhasil menaklukkan hampir semua kerajaan di Sulawesi Selatan, pada bulan Maret 1906, pasukan Angkatan Perang Belanda (KNIL) di bawah Pimpinan Kapten Killian masuk ke wilayah Toraja, tepatnya di Rantepao, dengan tujuan melucuti dan mengumpulkan senjata api dari semua penguasa Toraja. Masuknya Belanda ke wilayah Toraja juga sekaligus menandakan Belanda hendak menuntaskan misi besar mereka menaklukkan seluruh wilayah kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan.
Sewaktu masuk ke dalam Kota Rantepao, komandan pasukan Belanda memerintahkan Pongtiku datang menghadap dan menyerahkan semua senjata yang dimilikinya. Pongtiku menolak. Alih-alih menyerah, Pongtiku malah ia menyiagakan semua benteng-bentengnya untuk menghadapi perang dengan pasukan Belanda. Tanggapan yang diberikan Pongtiku membuat Kapten Killian pun merasa khawatir. Killian menganggap Pongtiku telah membuat persiapan yang baik untuk berperang dengan pasukan Belanda. Oleh karenanya, pasukan Belanda baru mulai digerakkan ke Tondon, setelah satu bulan mempelajari keadaan di Toraja.
Pada bulan April, pasukan Belanda dikirim ke Tondon untuk memerangi Pongtiku. Pasukan ini mundur kembali ke Rantepao tanpa perlawanan yang berarti. Di bulan-bulan berikutnya, Belanda mulai melakukan perang terbuka dengan pasukan Pongtiku di berbagai wilayah utara Toraja. Tanggal 1 Juni 1906 Angkatan Perang Belanda di bawah Komando Kapten De Last yang melakukan 3 gelombang serangan terhadap Pongtiku di Benteng Buntu Asu. Semua serangan Belanda kandas di muka Benteng dengan menelan banyak korban. Angkatan Perang Belanda pun dipukul mundur dan dihalau kembali ke Rantepao.
Keberhasilan Pongtiku menahan gempuran pasukan Belanda tampaknya tidak terlepas kemampuan strategi serta semangat yang ia miliki. Pongtiku memiliki keuntungan dalam hal penguasaan medan tempur serta Ia bertahan dan menyerang musuhnya dari benteng-benteng yang jumlahnya 9 buah yang telah dipersiapkan sejak dini. Perang Pongtiku melawan Belanda bukanlah tindakan spontanitas akan tetapi adalah perang yang direncanakan dan dipersiapkan dengan matang.
Ilustrasi Pertempuran Pongtiku (diambil dari foto makam Pahlawan Pongtiku, koleksi pribadi)
Penaklukkan Toraja yang berjalan lambat akhirnya membuat berang Gubernur Jendral Hindia Belanda saat itu, Johannes Benedictus van Heutsz. Heutsz pun memerintahkan Gubernur Sulawesi yang juga mantan Pasifikator Van Aceh (Pengaman Aceh), Letjen Swart, untuk memimpin langsung perang terhadap Pongtiku di wilayah Toraja. Setelah berbulan-bulan berperang, lewat beberapa kali pertempuran, pasukan Belanda tampaknya perlahan-lahan mulai berhasil memasuki wilayah Pongtiku di Pangala’. Belanda pun terus menaklukkan semua benteng pertahanan Pongtiku. Pongtiku pun akhirnya mengambil posisi bertahan di Benteng Batu di Baruppu’. Walau dengan teknologi yang terbatas, Pongtiku berhasil mempertahankan bentengnya selama berbulan-bulan. Belanda pun akhirnya menyadari bahwa peluru dan granat ternyata bukan hal yang mampu menaklukkan Pongtiku dan pasukannya, apalagi memadamkan semangat juang mereka. Keberhasilan Pongtiku menahan gempuran pasukan Belanda selama berbulan-bulan tampaknya tidak terlepas kemampuan strategi serta semangat yang ia miliki. Pongtiku pun memiliki keuntungan dalam hal penguasaan medan tempur serta posisi bertahan yang lebih menguntungkan. Setelah mengepung Pongtiku selama 4 bulan(Juli s/d Oktober 1906), Belanda pun menyadari mereka berperang bukan dengan orang yang berperang dengan sembarangan tanpa strategi. Pongtiku dipastikan telah mempersiapkan 9 bentengnya sejak dini. Pongtiku berperang dengan perencanaan dan persiapan yang matang. Belanda pun mulai memikirkan taktik lain untuk mengalahkan Pongtiku dan pasukannya.
Peperangan frontal telah nyata menunjukkan Pongtiku adalah lawan yang sulit untuk dikalahkan. Belanda pun menyadari mereka perlu kembali menggunakan akal bulus lainnya. Taktik penjebakan untuk Pongtiku pun mulai dipersiapkan. Ini adalah taktik klasik Belanda yang juga digunakan terhadap Pangeran Diponegoro, yaitu menawarkan perundingan. Pada tanggal 26 Oktober 1906 Belanda mengutus Andi Guru, penguasa Sidenreng, dan Tandi Bunna’, bekas pemimpin pasukan Pongtiku, untuk menawarkan gencatan senjata kepada Pongtiku. Walau pada awalnya Pongtiku menolak, Pongtiku akhirnya mendengarkan nasihat dari orang-orang di kampungnya untuk mengingat kematian ibunya yang terjadi saat pengepungan. Tiga hari kemudian, Pongtiku pun mengalah karena ia merasa harus mengadakan upacara untuk pemakaman ibunya terlebih dahulu. Belanda pun masuk, mengambil alih benteng, menahan semua senjata dan menangkap Pongtiku pada tanggal 30 Oktober 2006. Belanda pun menggiring Pongtiku dan pasukannya ke Tondon. Di Tondon, Belanda pun membatasi gerak-gerik Pongtiku yang sedang mempersiapkan Upacara Pemakaman ibunya menurut adat Toraja. Persiapan upacara pemakaman yang memakan waktu berbulan-bulan ini ternyata juga digunakan Pongtiku untuk mengumpulkan kembali senjata lewat orang-orang kepercayaannya dan juga sekaligus untuk menjalin komunikasi dengan beberapa benteng perlawanan lainnya di Toraja.
Januari 1907, di malam sebelum acara pemakaman orang tuanya, Pongtiku dengan sejumlah pasukan melarikan diri ke arah selatan. Pongtiku akhirnya mengetahui bahwa ia dan pasukannya diikuti oleh pasukan Belanda. Ia pun meminta pasukannya untuk kembali ke Tondon. Pongtiku sendiri terus melanjutkan perjalanannya bersama lima belas orang lainnya ke Benteng Ambeso yang dipimpin oleh Bombing dan Ua’ Saruran. Beberapa hari kemudian, Benteng Ambeso pun jatuh ke tangan Belanda. Pongtiku dan rombongannya pun keluar dari Benteng Ambeso dan pergi ke Benteng Alla. Maret 1907, Benteng Alla pun ditaklukkan Belanda. Kali ini Pongtiku dan rombongannya terpaksa kembali ke daerah Tondon. Mengingat semua benteng perlindungan telah jatuh ke tangan Belanda, Pongtiku pun menetap di hutan di sekitar wilayah Tondon.
Pada tanggal 30 Juni 1907, dengan petunjuk mata-mata Belanda, Pongtiku tertangkap lalu di bawa ke Rantepao. Setelah beberapa hari di penjara, pada tanggal 10 Juli 1907, Pongtiku dieksekusi dan gugur sebagai pahlawan Toraja di pinggir Sungai Sa’dan, tepatnya di tempat dimana Tugu Peringatan baginya didirikan di Singki’, Rantepao.
Foto Makam Pongtiku di Pangala'
No comments:
Post a Comment