Suasana kota Rantepao malam hari |
Hal itu diungkapkan Lokot Ahmad Enda, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) di Makassar, Kamis (23/4). Lokot menegaskan, Toraja kini bertekad untuk "merebut" kembali para wisatawan, terutama wisman, agar kembali mengunjungi obyek wisata yang kaya dengan tradisi budaya, seperti upacara pemakaman, dan keindahan alamnya itu.
Menurut Lokot, sebenarnya dulu para wisman mau mengunjungi Toraja dari Makassar lewat jalur darat dengan waktu tempuh 8 sampai 9 jam perjalanan (320 km), baik menggunakan kendaraan minibus sewaan, maupun bus antarkota reguler. Namun karena makin singkatnya kunjungan para wisman tersebut ke Indonesia, mereka "melirik" destinasi wisata lain, seperti Yogyakarta, Lombok, atau kepulauan Wakatobi.
Dia berharap, dengan dibangunnya bandar udara (bandara) baru, menggantikan bandara lama yang berlokasi di atas bukit dan sangat tergantung cuaca, kunjungan wisatawan, terutama wisman, bisa kembali ditingkatkan. Bandara baru sepanjang 2.500 meter yang berlokasi di Buntu Kunyi, Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja ini, nantinya mampu didarati pesawat berbadan lebar, seperti Boeing. Diperkirakan, pembangunan bandara Toraja senilai Rp 400 milyar ini, akan selesai pada akhir 2015. Maka jalur transportasi wisata Toraja bisa dibuka secara langsung ke Bali, Hongkong, Singapura, atau bandara internasional lainnya. Sehingga tingkat kunjungan wisatawan pun bisa kembali ke angka 170 ribu kunjungan per tahun.
Lokot menjelaskan, sementara ini wisatawan bisa ke Tana Toraja lewat bandara Palopo. Kemudian perjalanan dilanjutkan lewat darat sejauh 66 km ke Tana Toraja. "Hanya saja, mereka (pemerintah kabupaten, Red.) ingin juga punya bandara sendiri. Sebab, ujar Lokot, bandara merupakan salah satu prestige (kebanggaan) bagi suatu daerah, karena itu mempermudah akses.
Selain jalur udara, jalur darat juga semakin ditingkatkan. Infrastruktur jalan, yang tadinya masing-masing satu jalur dibuat masing-masing dua jalur dengan pemisah jalan. Menurut pengamatan ,jalan provinsi selebar 25 meter tersebut, membentang dari Makassar ke Parepare sekitar 100 kilometer itu, seluruhnya dibeton. Sisanya, dari Parepare hingga Tana Toraja, berupa jalan kabupaten, dua jalur untuk dua arah kendaraan.
"Jalan ini lebih lebar dari jalan Puncak Bogor. Gubernur (Sulawesi Selatan) memang harus 'nekad' kalau ingin maju," kata Lokot. Sebab, menurutnya, dengan dukungan infrastruktur jalan yang memadai, maka sektor-sektor lainnya lebih mudah dikembangkan. Ia memberi contoh, sektor kerajinan seperti miniatur rumah Tongkonan (rumah adat khas Toraja) dan parang khas Toraja, bisa dijajakan di jalur sepanjang Makassar-Toraja. Juga sektor kuliner, bisa dibuka berbagai restoran yang menjajakan menu khas daerah setempat.
Lokot menegaskan bahwa yang terpenting adalah, dengan adanya pengembangan infrastruktur wisata Toraja ini, yang diuntungkan masyarakat. Termasuk masyarakat kabupaten lain di jalur menuju Toraja, turut mengalami kemajuan. "Supaya bisa jadi stop-over. Restorannya, toko kerajinannya, toiletnya dan lain-lain, turut dibenahi," katanya.
Ia menambahkan, kebersilan pariwisata terutama ditentukan oleh pemerintah setempat. "Maukah bupatinya? Didukungkah oleh DPRD-nya? Padahal dampaknya itu luar biasa ke masyarakat. Seperti industri rumahan empek-empek di Sumatera Selatan. Dampaknya itu beruntun. Mulai dari tukang empek-empeknya, tukang ikannya, tukang telurnya, dan seterusnya. Ini adalah ekonomi kreatif," tutupnya.
Sumber: gatra.com
No comments:
Post a Comment